DAERAH

Kisah Pilu Keluarga Darma Ambarita: Terisolasi di Rumah Sendiri

113
×

Kisah Pilu Keluarga Darma Ambarita: Terisolasi di Rumah Sendiri

Sebarkan artikel ini
Raut wajah Jofanka Ambarita saat mendengar ibunya menceritakan kejadian pengerukan parit di sekeliling rumahnya. Foto oleh Hayun Gultom.
Raut wajah Jofanka Ambarita saat mendengar ibunya menceritakan kejadian pengerukan parit di sekeliling rumahnya. Foto oleh Hayun Gultom.

Samosir (SJN) – Akses menuju rumah Darma Ambarita di Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, kini semakin sulit. Untuk mencapai rumahnya, seseorang harus melewati pematang sawah sejauh 200 meter dari jalan aspal menuju pantai Danau Toba. Rumah Darma yang terletak tepat di tepi danau kini tampak seperti pulau kecil, terisolasi oleh parit besar sedalam tiga meter dan selebar tiga meter yang mengelilinginya di sisi kiri, kanan, dan belakang.

Kondisi ini membuat Darma, istrinya Retinna Sihotang, dan kedua anak mereka kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari. Terlebih bagi anak-anaknya yang masih kecil, parit besar ini menjadi penghalang yang mengancam kehidupan mereka.

 

Tangisan Jofanka yang Tak Digubris

Peristiwa tragis ini terjadi pada 6 Januari 2025. Saat itu, lima orang yang membawa alat berat tiba-tiba menggali tanah di sekeliling rumah Darma. Tanpa pemberitahuan atau izin, mereka membuat parit besar yang mengisolasi keluarga ini. Darma dan istrinya hanya bisa menangis dan memohon agar pengerukan dihentikan, tetapi permintaan mereka tak dihiraukan.

Putri mereka, Jofanka yang baru berusia lima tahun, menangis histeris, “Tuhan, tolonglah kami. Kasihan Bapak dan Mamakku,” kata Retinna mengenang tangisan putrinya yang menyayat hati. Retinna kemudian membawa Jofanka masuk ke dalam rumah agar tidak terus menyaksikan kejadian memilukan itu.

Namun, tangisan Jofanka tak menghentikan pengerukan. Meskipun ada seorang polisi saat kejadian itu, namun tindakan yang melanggar hak azasi Darman dan keluarganya itu terus berlangsung. Suara alat berat terus bergemuruh, bersaing dengan tangisan bocah kecil yang ketakutan.

Momen memilukan ini sempat direkam oleh seorang anggota keluarga mereka, lalu video tersebut viral di media sosial. Publik pun mulai memberikan perhatian terhadap nasib keluarga Darma.

Berjuang di Tengah Isolasi

Sejak rumah mereka dikelilingi parit, Darma terpaksa melewati air Danau Toba yang tingginya sepinggang untuk keluar rumah. Setiap pagi, ia menggendong Jofanka melewati air danau agar istrinya bisa mengantar anak mereka ke taman kanak-kanak di Ambarita. Namun, beberapa hari kemudian, permukaan air naik hingga hampir mencapai bahunya, sehingga ia harus menyeberangi parit berbahaya itu.

Foto Darma yang menggendong putrinya melintasi parit pun tersebar luas di media sosial dan berbagai media online. Bahkan di sekolah, teman-teman Jofanka mulai bertanya, “Rumahmu banjir, ya?” Mendengar pertanyaan itu, Jofanka hanya bisa terdiam, sementara ibunya tak kuasa menahan air mata.

Kondisi ini membuat keluarga Darma hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru berubah menjadi perangkap. “Dulu anak-anak bisa bermain di halaman. Sekarang, mereka hanya bisa duduk diam di dalam rumah, menatap keluar dengan wajah takut,” ujar Retinna dengan suara bergetar.

 

Laporan Diterima Setelah Viral di Medsos

Darma mencoba mencari keadilan dengan melapor ke Polres Samosir. Namun, laporannya ditolak dengan alasan ia tidak memiliki dokumen kepemilikan tanah. Padahal, mereka telah tinggal di tempat itu selama empat generasi.

“Bagaimana mungkin kami tidak punya hak atas tanah ini? Rumah ini dibangun orang tua saya sejak tahun 1982, tapi tiba-tiba kami dianggap tidak berhak atas rumah kami sendiri? Kalau soal surat hak milik berupa dokumen, yang mengeruk itu juga tak punya surat hak milik!” kata Darma.

Laporannya baru diterima setelah kasus ini viral di media sosial, namun hingga kini belum ada tindakan tegas terhadap pelaku pengerukan tanah.

 

Kunjungan DPR RI dan Tuntutan Keadilan

Publik yang mengetahui kejadian ini mulai memberikan perhatian. Wartawan dari berbagai media, organisasi pemuda, hingga aktivis hak asasi manusia (HAM) turun langsung melihat kondisi rumah Darma. Bahkan, seorang anggota DPR RI dari Komisi XIII, Drs. Rapidin Simbolon, MM, yang membidangi HAM, turut datang ke lokasi pada 29 Januari 2025.

“Saya datang bukan untuk membahas sengketa tanah, tetapi lebih dari itu. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Rapidin.

Menurutnya, dampak paling besar dari kejadian ini dirasakan oleh anak-anak Darma. Selain kehilangan rasa aman, mereka juga berisiko mengalami trauma jangka panjang. Rapidin pun meminta Polres Samosir segera menangkap pelaku pengerukan tersebut.

“Ini bukan sekadar soal tanah. Ini soal intimidasi. Bagaimana mungkin satu keluarga dipaksa hidup dalam ketakutan? Anak-anak kecil yang seharusnya bermain dan tertawa, kini hanya bisa menangis dalam ketakutan. Ini adalah pelanggaran HAM yang serius,” ujar Rapidin saat bertemu dengan Wakapolres Samosir pada 1 Februari 2025. Rapidin meminta Polres segera menindak orang yang melakukan pengerukan itu.

Momen Kecil yang Membawa Senyum Jofanka

Rapidin Simbolon sangat tersentuh saat melihat foto Darma menggendong Jofanka menyeberangi parit yang viral di media sosial. Ketika ia berkunjung ke rumah Darma, ia melihat Jofanka yang murung dan tak banyak bicara. Meski berbagai candaan dilontarkan oleh rombongan, bocah kecil itu hanya bisa tersenyum tipis.

Menurut Retinna, Jofanka sebenarnya anak yang ceria dan suka bercerita. Namun, sejak kejadian itu, ia menjadi pendiam dan sering takut.

Dua hari setelah kunjungannya, Rapidin mengirim dua boneka besar serta pakaian anak-anak untuk Jofanka dan adiknya, Josepin. Hadiah tersebut dikirim melalui Nikojoyo Sinaga. Saat menerima boneka itu pada 1 Januari lalau, wajah Jofanka langsung berseri-seri. “Ih, boneka beruang!” serunya senang, sementara Josepin langsung mencoba baju barunya yang berwarna ungu.

Meski sejenak membawa kebahagiaan, trauma tetap membekas di hati Jofanka dan Josepin. Saat ibunya menceritakan kembali kejadian pengerukan itu, Jofanka langsung duduk di pangkuan ayahnya sambil memegang bonekanya dengan wajah sedih dan mata berkaca-kaca.

“Setiap kali kejadian itu dibicarakan, anak saya langsung ketakutan dan menangis,” kata Retinna.

 

Harapan Keluarga Darma

Kini, Darma dan Retinna hanya berharap kehidupan mereka bisa kembali normal. Mereka ingin anak-anak mereka dapat bermain di halaman seperti dulu, tanpa harus takut rumah mereka akan ambruk atau parit di sekelilingnya semakin dalam.

Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan tegas dari pihak berwenang terhadap para pelaku pengerukan. Apakah keadilan akan berpihak kepada keluarga Darma? Ataukah mereka akan terus hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan? (Hg)