Lhokseumawe- Era digital telah menjelma menjadi dunia tanpa batas, merambah ke seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dunia remaja. Gadget, dengan segudang aplikasi dan fiturnya, telah menjadi teman setia, bahkan nyaris tak terpisahkan dari genggaman. Kemudahan akses informasi, hiburan tanpa henti, dan koneksi yang selalu terhubung dalam melengkapi hari-hari mereka. Namun, dibalik segala kemudahan dan keseruan yang ditawarkan, muncul pertanyaan penting: bagaimana dengan kewajiban mereka sebagai seorang Muslim, khususnya dalam menjalankan shalat 5 waktu ?
Dahulu, suara adzan menjadi penanda utama bagi umat Muslim untuk segera menunaikan Shalat. Namun kini, suara Adzan seakan tenggelam di antara deretan notifikasi yang berlomba muncul di layar gadget. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan. Bukan pemandangan asing lagi menemukan remaja yang lebih asyik dengan Gadget nya saat waktu Shalat tiba. Ada yang buru-buru menyelesaikan satu ronde permainan online agar bisa segera kembali bermain setelah Shalat, ada pula yang menunda-nunda Shalat karena asyik menonton serial drama di smartphone. Genggaman pada smartphone, tablet, atau laptop terasa jauh lebih kuat dibandingkan panggilan untuk mengingat Sang Pencipta.
Salah satu dampak paling nyata adalah menurunnya kedisiplinan dalam melaksanakan Shalat tepat waktu. Hiburan tanpa batas yang tersedia hanya seujung jari membuat Shalat sering kali tertunda, bahkan terlupakan. Aksi seru dalam permainan online, update status di media sosial, atau video lucu yang terus bergulir menjadi pengalih perhatian yang sangat ampuh. Shalat yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru tergeser menjadi sekadar rutinitas yang bisa dilakukan “nanti saja”, “setelah menang”, atau “kalau sudah tidak sibuk”.
Tak hanya kedisiplinan, gadget juga mengancam kekhusyuan shalat itu sendiri. Bayangkan, bagaimana mungkin hati bisa tenang menjalin komunikasi dengan Allah, jika pikiran masih dipenuhi dengan konten-konten dunia maya? Tubuh memang berada di atas sajadah, namun pikiran melayang membayangkan strategi permainan selanjutnya, membalas komentar di media sosial, atau menanti balasan pesan dari seseorang. Alih-alih merasakan ketenangan dan kedamaian setelah shalat, yang ada justru perasaan gelisah dan tak tenang karena khawatir tertinggal update terbaru. Ada rasa takut ketinggalan berita viral terbaru, takut tidak bisa update story di Instagram, atau takut tidak bisa membalas chat dari teman-teman. Shalat yang seharusnya menjadi sumber ketenangan jiwa, justru berubah menjadi rutinitas kosong tanpa makna.
Dampak negatif gadget tak hanya berhenti di situ. Tanpa disadari, kecanduan gadget juga mengikis nilai-nilai sosial dan menimbulkan berbagai masalah psikologis. Remaja cenderung mengisolasi diri, mengurangi interaksi sosial dengan keluarga, teman, bahkan lingkungan sekitarnya.Seorang remaja yang kecanduan game online bisa jadi lebih memilih untuk terus bermain daripada berkumpul dengan keluarga saat makan malam. Ia menjadi individu yang tertutup, sulit diajak komunikasi, dan cenderung mudah tersinggung jika aktivitas gaming-nya diganggu. Di sisi lain, kecanduan media sosial juga bisa berdampak pada konsep diri remaja. Melihat kehidupan teman-temannya yang terlihat “sempurna” di media sosial bisa menimulkan perasaan insecure, iri, dan kurang bersyukur.Padahal, interaksi sosial yang positif sangat penting dalam membentuk karakter dan menumbuhkan kepekaan sosial remaja.
Mereka justru lebih asyik berinteraksi dengan dunia maya yang semu dan menjebak diri dalam kesendirian yang merusak. Lalu, bagaimana mengatasi fenomena ini? Tentu saja tidak dengan melarang secara total penggunaan gadget. Di era digital ini, gadget sudah menjadi kebutuhan, termasuk bagi remaja. Kunci utamanya adalah menanamkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara dunia nyata dan maya. Orang tua memiliki peran sangat penting dalam mendidik dan mengawasi penggaan gadget pada anak. Komunikasi yang terbuka dan penuh empati, misalnya dengan membuat kesepakatan bersama mengenai waktu khusus untuk menggunakan gadget dan waktu tanpa gadget, misalnya saat makan bersama, beribadah, atau bercengkerama dengan keluarga. Keteladanan dalam beribadah, serta menciptakan suasana religius di keluarga adalah beberapa langkah awal yang bisa dilakukan.


