
Banda Aceh –Keputusan Pemko Banda Aceh yang hanya menyerahkan 11 orang wanita pelaku pesta miras di kawasan Ulee Lhe baru-baru ini untuk dibina BNPP sungguh melukai hati masyarakat Aceh. Pasalnya Aceh dengan kekhususannya telah mengatur hukuman yang jelas bagi para pelanggar syariat islam, sehingga keputusan Pemko itu malah dinilai mengabaikan kekhususan Aceh sebagaimana telah diatur di dalam qanun.
“Dalam kejadian pesta miras di kawasan Ulee Lheu tersebut jelas-jelas telah melanggar syariat islam, pertama perempuan berkumpul hingga dini hari di luar rumah kemudian ditemukan barang bukti berupa minuman keras. Lalu sangat disayangkan jika keputusan Pemko hanya sebatas menyerahkan ke BNPP untuk pembinaan, disini ketegasan dan komitmen Pj Walikota Banda Aceh sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terkait penegakan syariat islam patut dipertanyakan,” ungkap koordinator Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Untuk Rakyat (GeMPuR) Asrinaldi kepada media, Selasa 18 Oktober 2022.
Menurut GeMPuR, persoalan syariat islam hingga larangan meminum khamar secara khusus sudah tertera di dalam qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya. “Selain itu juga dioertegas dalam Qanun Jinayah Aceh Nomor 6 Tahun 2014 pasal 16 ayat 1 tentang Khamar. Jadi, persoalan pesta miras ini sudah diatur sedemikian rupa di dalam qanun termasuk persoalan sanksinya. Namun, sangat disayangkan Pj Walikota melalui instansi terkait justeru kurang tegas dan terkesan mengabaikan kekhususan Aceh yang sudah ditegaskan di dalam qanun Aceh tersebut,” jelasnya.
Ketidaktegasan Pj Walikota itu, kata Asrinaldi, mencerminkan bahwa komitmen Pj Walikota sangat lemah dalam penegakaan syariat islam dan dinilai telah mengabaikan kekhususan Aceh. “Jika keputusan yang dilakukan justru hanya pembinaan tanpa sanksi yang tegas maka pelanggaran syariat islam akan dianggap sesuatu yang biasa, dan kejadian serupa akan terulang begitu saja. Disini Pj Walikota secara tidak langsung dapat dilihat sangat tidak tegas dalam upaya pencegahan pelanggaran syariat islam dan pemberlakuan sanksi sesuai qanun Aceh,” ujarnya.
Terlepas dari adanya pihak yang menjilat dan memuji-muji Pj Walikota pasca keputusan itu, namun dapat dipastikan akan masyarakat sangat kecewa. “Ada yang jilat ya silahkan saja, tapi Pj Walikota jangan terlena. Ini menyangkut marwah Aceh dan juga sudah diatur secara khusus di dalam qanun Aceh, jadi jangan larinya kepersoalan HAM dan seterusnya sambil muji-muji Pj Walikota, kemudian dampaknya malah mengabaikan kekhususan Aceh dan merusak citra maupun marwah Aceh dalam penegakan syariat islam sebagaimana mestinya sesuai qanun. Jadi, kalau ada yang jilat Pj Walikota sebut persoalan syariat islam ini politik, dan Pj Walikota mendengarkan itu, maka patut diduga Pj Walikota yang sebenarnya ikut berpolitik dengan mengatasnamakan syariat. Katanya komitmen, begitu dipuji malah hilang ketegasannya dan terima masukan begitu saja tanpa perhatikan kekhususan Aceh, ini cukup ironis dan miris tentunya,” katanya mengaku prihatin.
Pihaknya meyakini tidak ada intervensi mendagri yang melarang Pj Walikota memberlakukan kekhususan Aceh di bidang syariat islam sesuai dengan qanun Aceh. “Inikan kesannya karena Pj Walikota dimandatkan mendagri lalu mengambil keputusan tidak memberikan sanksi sesuai qanun Aceh, malah menimbulkan prasangka masyarakat seakan-akan mendagri sengaja menyuruh Pj Walikota tak menerapkan qanun kekhususan Aceh tentang syariat islam khususnya khamar. Padahal, kami yakin tidak ada perintah dari mendagri untuk mengabaikan kekhususan Aceh yang sudah dipertegas dalam qanun, sayangkan Pj Walikota yang lakukan kebijakan mendagri atau pemerintah pusat yang kena imbasnya nanti, padahal bicara kekhususan terkait syariat islam di Aceh sudah didukung oleh pemerintah pusat,” tutupnya.(@h)